Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, bahwa seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasulullah untuk meminta sesuatu kepadanya. Nabi bertanya kepadanya: “Apakah di rumahmu ada sesuatu?” Ia menjawab: “Ya, ada beberapa helai pakaian. Sebagian kami pakai (dan) sebagian lagi kami bentangkan sebagai alas, dan gelas tempat menuang air minum.” Nabi berkata: “Bawalah kemari kedua barang itu,” maka ia pun membawa keduanya. Rasulullah mengambil kedua barang itu seraya berseru: “Siapakah yang sudi membeli kedua barang ini?” Seorang lelaki berkata: “Aku berani membelinya satu dirham!” Nabi menawarkan lagi: “Siapa yang berani lebih dari itu!” Beliau ucapkan dua atau tiga kali. Seorang lelaki lain berseru: “Aku berani membelinya seharga dua dirham.” Beliau pun menjual barang itu kepadanya dan memberikan dua dirham tadi kepada lelaki Anshar itu. Rasulullah berkata kepadanya: “Belilah makanan seharga satu dirham dengan wang itu, dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham, dan bawa kapak itu kepadaku!”. Ia pun melakukan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membelah kayu dengan kapak itu, kemudian berkata kepadanya: “Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali ke hadapanku kecuali setelah lima belas hari.” Lelaki Anshar itu pun berangkat mencari kayu bakar lalu menjualnya. Kemudian ia datang lagi kepada Rasulullah dengan membawa sepuluh dirham. Sebagian hasilnya ia belikan baju dan sebagian lagi ia belikan makanan. Rasulullah bersabda kepadanya: “Usaha itu lebih baik bagimu daripada engkau datang dengan noda hitam di wajahmu pada hari Kiamat disebabkan meminta-minta. Meminta-minta hanya boleh bagi tiga macam orang. (Iaitu): orang yang sangat fakir, orang yang terkena denda yang sangat berat, atau orang yang dibebani diyat (tebusan) yang menyulitkan.” [Lihat Misykatul Mashabih, I/581].
Salman Al Farisi radiyallahu `anhu punya rumus belanja 1-1-1. Bermodalkan uang 1 dirham, ia membuat anyaman dan dijualnya 3 dirham. 1 dirham ia gunakan untuk keperluan keluarganya, 1 dirham ia sedekahkan, dan 1 dirham ia gunakan kembali sebagai modal. Sepertinya sederhana, namun dengan cara itu sahabat ini bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dan bisa sedekah setiap hari. Penting dicatat, sedekah setiap hari. Nasehat Rasulullah shallallahu`alaihi wasallam yang dijalankan oleh laki-laki di atas dan juga amalan Salman Al Farisi radiyallahu `anhu memberikan petunjuk kepada kita cara dasar mengelola keuangan. Yakni, bagilah penghasilan kita menjadi tiga bagian; satu untuk keperluan konsumtif, satu untuk modal dan satu untuk sedekah. Pembagian ini tidak harus sama persis seperti yang dilakukan Salman Al Farisi radiyallahu `anhu.
1. KEPERLUAN KONSUMTIF
Banyak orang yang menghabiskan hampir seluruh penghasilannya untuk keperluan konsumtif. Tidak sedikit yang malah terjebak pada masalah keuangan karena terlalu menuruti keinginan konsumtif hingga penghasilannya tak tersisa, bahkan akhirnya minus (mengutang). Yang perlu menjadi catatan, bagi seorang suami, membelanjakan penghasilan untuk keperluan konsumtif adalah memberikan nafkah wajib kepada keluarganya. Namun jangan sampai seperti sebagian laki-laki yang menghabiskan banyak uang untuk konsumsi barang-barang haram seperti : rokok dan hal-hal mubah seperti aksesories kendaraan, sementara makanan untuk anak dan istrinya terabaikan.
2. MODAL
Sisihkanlah penghasilan atau uang Anda untuk modal. Bahkan, kalaupun Anda adalah seorang karyawan atau pegawai. Sisihkanlah setiap bulan gaji Anda untuk menjadi modal atau membeli aset. Konsep inilah yang membedakan perilaku orang-orang kaya dengan orang-orang kelas menengah dan orang miskin. Orang kaya membeli aset, orang kelas menengah dan orang miskin menghabiskan uangnya untuk keperluan konsumtif.
Seringkali kita salah menyangka merasa telah membeli aset, padahal membeli barang konsumtif ini disebut sebagai liabilitas. Apa perbedaannya? Aset adalah modal atau barang yang menghasilkan pemasukan, sedangkan liabilitas adalah barang yang justru mendatangkan pengeluaran. Barangnya bisa jadi sama, tetapi yang satu aset, yang satu liabilitas. Misalnya orang yang membeli mobil dan direntalkan. Hasil rental lebih besar dari cicilan. Ini aset. Tetapi kalau seseorang membeli mobil untuk gengsi-gengsian, ia terbebani dengan cicilan, biaya perawatan dan lain-lain, ini justru menjadi liabilitas. Mengapa orang-orang kelas menengah sulit menjadi orang kaya, karena berapapun gaji atau penghasilan mereka, mereka menghabiskan gaji itu dengan memperbesar cicilan. Berbeda dengan orang yang membeli aset atau modal yang semakin lama semakin banyak menambah kekayaan mereka.
Jangan lupa sisihkan penghasilan Anda untuk sedekah. Mengapa? Sebab ia adalah bekal untuk kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Baik sedekah wajib berupa zakat maupun sedekah sunnah. Apa yang dilakukan Salman Al Farisi radiyallahu `anhu adalah amal yang luar biasa. Ia bersedekah senilai apa yang menjadi keperluan konsumtif keluarganya. Jadi kita kita punya gaji atau penghasilan tiga juta, lalu kebutuhan konsumtif keluarga kita satu juta, kita baru bisa menandingi Salman Al Farisi radiyallahu `anhu jika bersedekah satu juta pula. Namun karena ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa sedekah satu bukit tidak dapat menyamai sedekah satu mud para sahabat, kita tak pernah mampu menandingi sedekah Salman Al Farisi radiyallahu `anhu.
Harta sejati kita yang bermanfaat di akhirat nanti adalah apa yang kita sedekahkan. Lalu mengapa kita membagi penghasilan kita menjadi tiga bagian; konsumsi, modal dan sedekah? Mengapa tidak semuanya disedekahkan? Sebab konsumsi dan modal sesungguhnya juga pendukung sedekah kita. Jika keperluan konsumsi kita terpenuhi, maka fisik kita relatif lebih sehat. Dengan fisik yang sehat, kita bisa beribadah dan bekerja yang sebagian hasilnya untuk sedekah. Mengapa perlu mengalokasikan untuk modal/aset? Karena ia akan semakin memperbesar pemasukan kita dan dengannya kita menjadi lebih mudah untuk bersedekah dalam jumlah lebih besar dan juga lebih banyak beramal.