Sejak tahun 1980-an penyebaran penyakit menular meningkat lebih dari tiga kali lipat setiap dekadenya, misalnya: Ebola, HIV, flu babi dan flu burung, adalah penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia. Lebih dari 70% penyakit ini berasal dari hewan, dan sekitar 70% dari jumlah itu berasal dari hewan liar. Kondisi ini bukan berarti dibiarkan atau bahkan tidak diperkirakan sebelumnya, karena hasil pertemuan para ahli bakteriologi, virologi dan penyakit menular di markas besar World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 menghasilkan suatu peringatan besar untuk dunia. Disease X, begitu nama yang disematkan oleh WHO terkait prediksi munculnya penyakit yang datang dari patogen dan akan menyerang umat manusia dalam waktu yang singkat. Ternyata apa yang diprediksi oleh WHO menjadi kenyataan. Dua tahun kemudian virus SARS-CoV-2 akhirnya muncul dan kemudian menyebabkan penyakit menular sekaligus mematikan yang dikenal sebagai Covid 19 (Madjid, 2020).
Bukan berarti manusia tidak berandil apapun dalam pandemi ini, karena studi terbaru menyimpulkan bahwa manusia dan aktivitasnya adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap penyebaran virus ini karena telah merusak ekosistem sebagai habitat alamiah hewan serta keanekaragaman hayati. Merebaknya penyebaran virus Corona di Wuhan, Cina akhir Desember 2019 juga memunculkan teori konspirasi bahwa virus diciptakan di laboratorium di Cina. Tapi ini bertentangan dengan konsensus ilmiah yang bahwa mengatakan, virus SARS-VoV-2 adalah penyakit yang berasal dari hewan dan menular ke manusia yang kemungkinan besar berasal dari kelelawar, kemudian menyebar melalui hewan mamalia lainnya (Shield, 2020).
Peningkatan populasi penduduk dunia serta hubungan yang semakin mudah dan erat turut menyebarkan COVID-19 dengan cepat. Deforestasi dan perusakan habitat adalah dua kegiatan utama yang semakin membuka hubungan manusia dengan hewan liar, disamping semakin banyak hewan yang didomestikasi (dipelihara) di kawasan permukiman. Perusakan ekosistem juga berdampak pada perkembangan dan penyebaran jenis virus yang semakin berkembang di alam liar. Kita lihat dalam beberapa abad terakhir, hutan tropis yang berkurang 50% berakibat sangat buruk pada ekosistem terutama pada rantai makanan. Tiap spesies mempunyai peran khusus dalam ekosistem, sehingga jika sebuah spesies mengambil tempat spesies lain. Kita bisa gambarkan contohnya jika hewan di bagian atas (seperti ular) punah, maka hewan di bagian bawahnya (seperti tikus) yang membawa lebih banyak patogen, akan mengambil posisi di bagian atas rantai makanan. Maka jelas ini bisa berdampak besar dan merusak keseimbangan ekosistem, dan semakin banyak kehancuran termasuk meningkatnya risiko penyakit (Shield, 2020).
Kegiatan manusia membuka kawasan hutan yang dihuni hewan liar untuk menggembalakan ternak serta mengambil kekayaan alamnya, justru semakin meningkatkan resiko mudah tertular patogen (misal : virus) yang sebelumnya tidak pernah keluar dari kawasan itu, dan hanya singgah pada tubuh binatang yang ditempatinya (Shield, 2020). Para peneliti meyakini, penebangan hutan ilegal, – habitat asli satwa liar seperti kalong, membuat mereka terpaksa menyingkir keluar hutan. Selanjutnya mereka berinteraksi dengan hewan domestik dan ternak peliharaan manusia. Interaksi ini yang kemudian berperan sebagai jalur transmisi berpindahnya patogen dari hewan liar ke hewan domestik/ternak, yang pada tahap akhir sampai kepada pemilik ternak (manusia) dan menyebar ke seluruh dunia (Madjid, 2020).
Di sisi lain, ekploitasi manusia untuk memuaskan hasratnya demi mendapatkan tubuh yang ideal dan sehat sudah tidak masuk akal lagi. Habitat hewan yang dirusak, populasi hewan yang dilindungi kian berkurang secara signifikan memaksa hewan untuk kontak langsung dan berinteraksi dengan manusia. Hal ini lagi-lagi menepis teori keberlanjutan, perkembangan industri yang melonjak tanpa memperhatikan aspek keseimbangan ekologi juga menyumbang dampak buruk bagi kehidupan manusia (Fauzy, 2020).
Situasi yang mengejutkan banyak orang ini (pandemik Covid-19), telah diperingatkan oleh Joachim Spangenberg, (Wakil Presiden Institut Riset Keberlanjutan Eropa), yang mengemukakan, bahwa dengan merusak ekosistem, manusia menciptakan kondisi yang menyebabkan virus hewan menyebar ke manusia (Shield, 2020). . Tentunya kita tidak boleh melupakan peringatan dari Allah Subhanahuwata`ala bahwasanya semua peristiwa bencana penyakit musibah yang menimpa manusia tidak lepas dari perbuatan manusia itu sendiri (serta takdir yang sudah ditulis 50.00 tahun sebelum diciptakannya manusia oleh Allah yan Maha Kuasa), sebagaimana dikatakan dalam Al Qur`an Surat Ar Ruum ayat 41 :

dan Al Qur`an Surat At-Thagabun ayat 11 :

Pandemi Covid-19 dalam kajian ekologi dapat dikategorikan sebagai “outbreak” atau ledakan populasi yang muncul sebagai kejadian sebab-akibat yang disebabkan rusaknya keseimbangan komponen ekosistem sehingga mengubah komposisi rantai dan jaring makanan yang ada sebelumnya. Perubahan komposisi ekosistem (jenis, populasi, dan komunitas) secara langsung akan mengubah struktur dan fungsi ekosistem yang akhirnya menghilangkan berbagai layanan dan jasa yang dihasilkannya. Penekanan utama ekologi pada tingkat individu adalah kemampuan adaptasi masing-masing individu untuk menghadapi perubahan lingkungan, termasuk berubahnya keseimbangan rantai makanan. Tentunya contoh yang dibahas di sini adalah cara adaptasi individu terhadap pandemi Covid-19 yang dikenal dengan istilah autekologi. Autekologi merupakan kajian tentang individu / spesies yang menyangkut riwayat hidup dan kelakuannya (adaptasi dengan lingkungannya). Autekologi juga membahas sejarah hidup dan pola adaptasi individu / organisme terhadap lingkungannya.
Kajian ekologi selanjutnya juga membahas mengenai sekelompok organisme dalam satu spesies yang mendiami suatu tempat yang disebut sebagai populasi. Populasi memiliki ciri atau sifat khusus yang ada pada populasi / kelompok dan bukan merupakan ciri individu. Ciri-ciri tersebut antara lain : kerapatan, natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi (penyebaran), dan pertumbuhan populasi. Bagaimana membahas populasi terkait pandemi Covid-19 ini? Jawabannya kita harus memahami dahulu karakter populasi. Bahwasanya karakter populasi itu terdiri dari karakter numerik dan karakter biologi populasi. Karakter numerik meliputi : densitas, natalitas, mortalitas, distribusi, migrasi, dan pertumbuhan, Sedangkan karakter biologi populasi meliputi : kemampuan adaptasi dan strategi perkembangan populasi berdasarkan karakter numeriknya.
Tingkat ekologi selanjutnya adalah sinekologi atau sering disebut sebagai ekologi komunitas, yaitu kajian ekologi yang mempelajari komunitas makhluk hidup sebagai suatu kesatuan yang saling berinteraksi antara berbagai jenis makhluk hidup dengan lingkungan di sekitarnya. Cara yang paling baik untuk menamakan komunitas itu adalah dengan mengambil beberapa sifat komunitas yang jelas dan mantap. Pemberian nama komunitas dapat berdasarkan :1.Bentuk atau struktur utama seperti : jenis dominan, bentuk hidup atau indikator lainnya (seperti : hutan pinus, hutan agathis, hutan jati, atau hutan Dipterocarphaceae), dapat juga berdasarkan sifat tumbuhan dominan (seperti : hutan sklerofil). 2. Berdasarkan habitat fisik dari komunitas, (seperti : komunitas hamparan lumpur, komunitas serangga hama, komunitas ikan, dan lain-lain).
Pustaka
Chapin III, F. S., Matson, P. A., & Mooney, H. A. (2002). Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. Springer-Verlag.
Fauzy, M. (2020). Virus Corona Memaksa Manusia “Melek” Ekologi. 23 Maret 2020. https://maupa.co/virus-corona-memaksa-manusia-melek-ekologi/
Madjid, I. (2020). Kerusakan Alam, Pandemi dan Sembilan Batas Ekologi Bumi. 24 July 2020. https://www.mongabay.co.id/2020/07/24/kerusakan-alam-pandemi-dan-sembilan-batas-ekologi-bumi/.
Shield, C. (2020). Pandemi Virus Corona Berkaitan dengan Perusakan Alam dan Ekosistem Dunia. 18 April 2020. https://www.dw.com/id/pandemi-virus-corona-berkaitan-dengan-perusakan-alam-dan-ekosistem-dunia/a-53173730.