Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lokal

Isu mengenai pembangunan berkelanjutan yang melibatkan tiga komponen penting yakni : masyarakat (sosial), lingkungan (ekologi) dan pembangunan (ékonomi) merupakan isu global yang tidak pernah ada akhirnya. Isu-isu ini sangat menarik untuk dibahas dan didalami mengingat Kalimantan merupakan pulau dengan segala potensi sumberdaya hayatinya saat ini mengalami ancaman degradasi lahan, deforestasi, dan alih fungsi lahan yang masif dan simultan di Indonesia. Terkait hal tersebut, supaya tidak menimbulkan perdebatan tanpa akhir maka perlu ditentukan akar masalahnya yakni ontologi atau cara pandang manusia memandang lingkungannya. Masyarakat modern yang umumnya hidup di wilayah urban sering kali terjebak dengan cara berpikir model Cartesian-deterministik. Berbeda halnya dengan penduduk lokal / masyarakat adat yang umumnya hidup di wilayah sekitar hutan / perdesaan dengan pendekatan tradisional-holistiknya. Lalu ontologi mana yang lebih baik? Mari kita bandingkan!

Masyarakat modern. Kita bahas mengenai masyarakat modern, termasuk diantaranya masyarakat ilmiah (kampus dan sekolah). Kelompok ini sering terjebak dalam paradigma ilmu pengetahuan modern (scientific) mendasarkan kepada pendekatan Cartesian yang bersifat mekanistik-deterministik. Pendekatan ini memandang hubungan antara manusia dengan lingkungan alam secara terpisah dan menempatkan manusia di atas segalanya. Manusia ditempatkan sebagai subyek, sementara lingkungan alam (biodiversitas) ditempatkan sebagai obyek yang bebas dieksploitasi kapan saja oleh manusia. Konsep pembangunan yang berangkat dari cara pandang ilmu pengetahuan Cartesian tersebut pada kenyataannya telah menjauhkan manusia dari lingkungannya.

Implikasi pendekatan inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif terhadap lingkungan, dan akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan. Pandangan ini juga menganggap bahwa modal biodiversitas yang disediakan oleh Dzat Yang Maha Kuasa ini hanya sebagai alat untuk melengkapi kehidupan manusia, Pandangan ini akhirnya menganggap segala sesuatu yang bersifat lokal (kearifan lokal) sebagai sesuatu yang statis, cenderung konservatif, dan lemah inovasi.

Selanjutnya cara pandang seperti ini oleh pengelola (pemerintah) maupun pengguna (masyarakat) melahirkan konsep pembangunan yang salah karena 1) telah menjauhkan manusia dari alam, 2) menyebabkan eksploitasi berlebihan karena menempatkan faktor ekonomi sebagai sumber kemajuan dalam kehidupan, 3) tidak peduli terhadap lingkungan (ekologi) serta 4) menyebabkan ketidakseimbangan atau kerusakan alam lingkungan. Lebih miris lagi, masyarakat ilmiah akhirnya menyederhanakan sistem ekologi yang amat komplek tersebut dengan melakukan perencanaan dan tindakan pembangunan yang cenderung homogen serta kaku.

Timbulnya serangkaian persoalan konflik masyarakat, kerusakan lingkungan dan timpangnya pembangunan karena menempatkan faktor ekonomi sebagai sumber kemajuan dalam kehidupan dan tidak peduli terhadap lingkungan. Sejarah juga telah membuktikan bahwa nilai sumberdaya alam yang dihitung dengan perhitungan angka-angka ekonomi ternyata berdampak semu terhadap kesejahteraan karena ilmu pengetahuan modern tidak mampu menghentikan penurunan kualitas sumberdaya alam dan menekan kerusakan lingkungan. Letak kegagalan yang paling menonjol adalah bahwa pendekatan deterministik – rasionalistik dengan konsepnya yang universal, tidak mampu untuk mengakomodir nilai-nilai pluralisme dan kepentingan-kepentingan masyarakat pada skala komunitas dan lokal (Sudaryono, 2006).

Masyarakat Tradisional. Berbeda dengan masyarakat modern, masyarakat loakl memandang alam / biodiversitas sebagai modal saling mendukung dengan manusia (terintegrasi), membentuk hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Cara pandang ini mencerminkan pembentukan karakteristik potensi lokal dengan segala pesona keanekaragaman hayatinya serta keunikan nilai-nilai lokal. Pandangan ini akan mengingatkan kita kembali dengan melihat alam sebagai sebuah komunitas etis yang holistik antara alam dengan manusia. Dalam konteks ini alam tidak hanya dijadikan sebagai objek (material) tanpa memposisikannya sebagai subjek moral, namun manusia, alam dengan seluruh isinya baik biotik maupun abiotik, nyata maupun tidak nyata (abstrak) memiliki posisi dan tanggung jawab yang sama dalam suatu tatanan ekologis yang saling mempengaruhi dan saling mendefinisikan.

Dalam komunitas ekologis tersebut, keunikan nilai-nilai lokal baik eksotisme keanekaragaman hayatinya maupun keunikan nilai budayanya sebagaimana yang tereksplorasi di lapangan, memahami segala sesuatu di alam semesta ini sebagai terkait dan tergantung satu sama lain. Cara pandang mengenai manusia sebagai bagian integral dari alam, serta prilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat termasuk terhadap masyarakat lokal dalam kepercayaan tradisional dan peduli terhadap keberlangsungan semua kehidupan di alam semesata, telah menjadi cara pandang dan prilaku yang menunjukkan kearifan lokal (local wisdom).

Wallahu’alam bish showab.

Disadur dari :

https://bppppd.bangkaselatankab.go.id/post/detail/1558-kawasan-ekosistem-esensial-kee-sebagai-benteng-mewujudkan-suistanble-tourism-development-berbasis-pesisir-pulau-pulau-kecil-di-kabupaten-bangka-selatan

https://www.coursehero.com/file/p6ij482/Dikatakan-mekanistis-karena-seluruh-alam-semesta-dan-manusia-dilihat-sebagai/

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.